Kasus SMAN 1 Cimarga Menampar Wajah Pendidikan Indonesia. Analisis Kritis Tindakan Disipliner dalam Dunia Pendidikan.
NASIONAL, blknnews.com - Kasus kepala SMAN 1 Cimarga Provinsi Banten yang dicopot oleh sang Gubernur Andra Soni dari jabatannya karena, menampar murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah telah memicu perdebatan sengit di ruang publik Indonesia. Insiden ini bukan sekadar pelanggaran disiplin dan responsnya, melainkan sebuah simpul yang mempertemukan berbagai tegangan fundamental dalam dunia pendidikan.
Ruang media sosial diramaikan oleh perdebatan dan berbagai analisa yang menunjukkan bahwa meskipun niat kepala sekolah untuk menegakkan disiplin dapat dipahami dalam konteks perannya sebagai otoritas moral, tindakannya secara metodologis keliru dan kontra-produktif secara pedagogis. Kekerasan fisik, alih-alih membentuk kesadaran, justru mereproduksi budaya ketakutan, memutus relasi edukatif, dan mengkhianati esensi pendidikan sebagai proses pemanusiaan dan penyadaran kritis.
Tulisan ini berargumen bahwa jalan keluar dari dilema ini terletak pada pergeseran paradigma dari disiplin punitif menuju disiplin positif dan keadilan restoratif, sebuah pendekatan yang lebih selaras dengan cita-cita pendidikan yang memerdekakan.
Kepala sekolah menampar wajah muridnya karena kedapatan merokok di area sekolah dengan cepat menjadi viral. Dalam sekejap, jagat maya terbelah. Satu kubu mengecam tindakan tersebut sebagai kekerasan brutal yang tidak dapat dibenarkan, pelanggaran hukum, dan cerminan dari bobroknya sistem pendidikan yang masih mengandalkan cara-cara primitif. Kubu lainnya, dengan tidak kalah sengit, membela kepala sekolah. Mereka berargumen bahwa murid zaman sekarang "cengeng", kurang ajar, dan perlu tindakan tegas untuk mendisiplinkannya. Muncul istilah nostalgia seperti "tamparan sayang", sebuah eufemisme untuk kekerasan fisik yang dinormalisasi sebagai bentuk kepedulian dan metode pendisiplinan yang efektif di masa lalu.
Kasus ini adalah puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih dalam dan sistemik dalam lanskap pendidikan Indonesia. Ia memaksa kita untuk menginterogasi kembali pertanyaan-pertanyaan fundamental, seperti :
-, Apa sejatinya tujuan disiplin di sekolah..?
-, Apakah menegakkan aturan harus setara dengan menggunakan kekerasan..?
-, Di mana batas antara tindakan edukatif dan tindak pidana..?
-, Bagaimana seharusnya institusi pendidikan merespons pelanggaran moral seperti merokok tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kemanusiaan..?
"Secara hukum dan etika formal, kekerasan fisik dalam dunia pendidikan dilarang. Namun secara moral dan pedagogis, kasus ini tidak bisa dibaca hitam putih." Di satu sisi, siswa tersebut jelas melanggar hukum (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 109 Tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa Rokok) serta peraturan sekolah.
Di sisi lain, respons kepala sekolah juga jelas melanggar hukum (KUHP tentang penganiayaan dan UU Perlindungan Anak). Terjadilah sebuah paradoks hukum dan moral: sebuah pelanggaran dihadapi dengan pelanggaran lain.
Secara hukum, posisi kedua belah pihak sama-sama problematis. Siswa yang merokok di lingkungan sekolah, yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok, telah melakukan pelanggaran. UU No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 109 Tahun 2012 memberikan landasan hukum yang kuat bagi sekolah untuk menerapkan larangan merokok secara ketat. Peraturan daerah (Perda) yang menjadi turunan dari undang-undang tersebut bahkan sering kali mencantumkan sanksi pidana kurungan atau denda bagi pelanggarnya. Maka, dari sudut pandang hukum positif, siswa tersebut bersalah.
Namun, respons kepala sekolah juga menciptakan masalah hukum baru yang lebih serius. Tindakan menampar dapat dikategorikan sebagai penganiayaan ringan atau berat, tergantung pada akibat yang ditimbulkannya, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih jauh lagi, karena korban adalah anak di bawah umur dan tindakan terjadi di lingkungan pendidikan, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjadi sangat relevan. Pasal 54 dalam UU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa "Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik atau psikis yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain." Sanksi bagi pendidik yang melakukan kekerasan pun diatur dengan tegas.
Di sinilah letak paradoksnya. Kepala sekolah, dalam upaya menegakkan satu aturan (larangan merokok), justru melanggar aturan lain yang lebih fundamental (larangan kekerasan terhadap anak). Kewenangannya sebagai penegak disiplin sekolah tidak memberinya imunitas hukum untuk melakukan tindak pidana. Argumen bahwa ada "satgasnya" untuk menangani masalah rokok, seperti yang disebut dalam narasi awal, menyoroti pentingnya prosedur. Hukuman tidak bisa dijatuhkan secara arbitrer dan impulsif, melainkan harus melalui mekanisme yang telah ditetapkan.
Setiap profesi memiliki kode etiknya, tak terkecuali guru. Kode Etik Guru Indonesia, yang dirumuskan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), menekankan pentingnya menjunjung tinggi martabat peserta didik. Seorang guru diharapkan bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan teladan. Kekerasan fisik secara inheren bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Ia merendahkan martabat siswa, menggantikan motivasi dengan ketakutan, dan memberikan teladan bahwa kekuatan fisik adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah.
Namun, dilema muncul dari peran tradisional guru sebagai in loco parentis (pengganti orang tua di sekolah). Dalam pandangan ini, guru memiliki otoritas moral untuk membentuk karakter siswa, termasuk memberikan hukuman. Di sinilah perdebatan tentang "tamparan sayang" berakar.
Dalam budaya paternalistik, hukuman fisik dari orang tua atau figur otoritas sering kali dimaknai sebagai tanda kepedulian. Kepala sekolah mungkin bertindak berdasarkan pemahaman ini, melihat dirinya sebagai "ibu" yang sedang "mendidik" anaknya yang bandel. Akan tetapi, pandangan ini semakin tidak relevan di era modern di mana psikologi perkembangan anak dan hak asasi manusia lebih diutamakan. Etika profesi modern menuntut pendidik untuk menggunakan metode-metode yang berbasis bukti (evidence-based), yang secara konsisten menunjukkan bahwa kekerasan fisik lebih banyak menimbulkan dampak negatif (trauma, agresi, rendah diri) daripada positif.
Respons publik yang terbelah menunjukkan adanya patahan budaya. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai hierarkis dan komunal, di mana rasa hormat kepada yang lebih tua bersifat absolut dan disiplin fisik dianggap wajar. Bagi mereka, siswa yang melawan atau mempertanyakan otoritas guru adalah "cengeng" dan produk dari pendidikan modern yang terlalu memanjakan. Pepatah Minangkabau "managakkan banang basah" yang digunakan untuk menyindir mereka yang membela siswa atas nama HAM sebagai upaya sia-sia untuk membela yang salah.
Di sisi lain, ada kelompok yang semakin sadar akan hak-hak individu, kesehatan mental, dan dampak psikologis dari trauma masa kecil. Bagi kelompok ini, tidak ada justifikasi apa pun untuk kekerasan, terlepas dari niatnya.
"Tamparan sayang" dianggap sebagai oksimoron, sebuah upaya romantisasi kekerasan yang berbahaya. Mereka berpendapat bahwa mengakui kesalahan siswa (merokok) tidak berarti membenarkan kesalahan kepala sekolah (menampar). Keduanya adalah isu yang terpisah dan harus dievaluasi berdasarkan standarnya masing-masing.
Perang narasi ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan hanya tentang satu insiden, tetapi tentang pertarungan cara pandang dunia dalam memaknai pendidikan, otoritas, dan disiplin.
Untuk memahami betapa kelirunya tindakan menampar dari sudut pandang kearifan lokal, kita harus kembali pada pemikiran sang mahaguru pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Falsafah pendidikannya, yang terangkum dalam trilogi terkenalnya, menawarkan antitesis yang tajam terhadap segala bentuk paksaan dan kekerasan.
Konsep sentral dalam pedagogi Ki Hajar Dewantara adalah "menuntun". Ia menganalogikan pendidik sebagai seorang petani dan anak-anak sebagai benih. Petani tidak bisa mengubah kodrat benih padi menjadi jagung. Yang bisa ia lakukan adalah menyiapkan lahan yang subur, memberinya air dan pupuk yang cukup, serta melindunginya dari hama. Artinya, pendidikan berfungsi untuk "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."
Kata "menuntun" di sini adalah kunci.
Menuntun adalah proses yang penuh kesabaran, kasih sayang, dan pemahaman. Ia berbeda secara diametral dengan "memaksa", "mencetak", atau "mengontrol". Sebuah tamparan adalah antitesis dari menuntun. Tamparan adalah sebuah intervensi yang kasar, sebuah pemaksaan kehendak secara fisik yang mengabaikan kodrat dan kondisi psikologis anak. Ia tidak menumbuhkan, melainkan mematahkan. Ia tidak menyuburkan, melainkan meracuni lahan jiwa sang anak dengan benih ketakutan dan kebencian.
Dalam sistem "among" (mengasuh), hukuman memang ada, tetapi harus bersifat edukatif dan tidak boleh merendahkan martabat anak. Hukuman harus menjadi konsekuensi logis dari perbuatan, yang bertujuan untuk menyadarkan anak akan kesalahannya, bukan untuk melampiaskan amarah pendidik.
Analisis tindakan kepala sekolah menggunakan tiga pilar pemikiran Ki Hajar Dewantara :
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di Depan Memberi Teladan): Seorang pemimpin, termasuk kepala sekolah, harus menjadi teladan. Dengan melakukan kekerasan, teladan apa yang diberikan oleh kepala sekolah tersebut..?
Ia secara tidak langsung mengajarkan bahwa kekerasan adalah solusi yang dapat diterima untuk menghadapi masalah atau pelanggaran. Ia menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki kekuasaan, ia berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan kehendaknya. Ini adalah teladan yang sangat berbahaya dan kontra-produktif dengan tujuan pendidikan karakter yang ingin menanamkan nilai-nilai anti-kekerasan, empati, dan penyelesaian masalah secara damai.
2. Ing Madya Mangun Karsa (Di Tengah Membangun Kehendak/Inisiatif): Seorang pendidik harus mampu membangkitkan semangat dan kemauan dari dalam diri siswa untuk berbuat baik. Sebuah tamparan tidak akan pernah bisa membangun karsa. Ia justru mematikannya.
Rasa sakit dan malu akibat tamparan tersebut akan menciptakan dinding antara siswa dan kepala sekolah, memutus relasi pedagogis yang seharusnya dibangun di atas kepercayaan. Siswa mungkin berhenti merokok di sekolah, tetapi bukan karena kesadaran atau karsa dari dalam dirinya, melainkan karena rasa takut akan hukuman fisik. Ini adalah bentuk disiplin yang rapuh dan dangkal.
3. Tut Wuri Handayani (Dari Belakang Memberi Dorongan/Dukungan): Inilah peran pendidik ketika siswa melakukan kesalahan. Pendidik seharusnya berada di belakang, memberikan dukungan moral, mengarahkan, dan membantu siswa untuk belajar dari kesalahannya.
Menampar adalah kebalikannya. Itu bukan dorongan, melainkan serangan. Alih-alih merasa didukung untuk menjadi lebih baik, siswa tersebut justru merasa dihakimi, direndahkan, dan diserang. Proses pembelajaran dari kesalahan menjadi mustahil karena emosi negatif seperti marah, dendam, dan trauma mengambil alih.
Dengan demikian, dari perspektif Ki Hajar Dewantara, tindakan kepala sekolah adalah sebuah kegagalan pedagogis total. Ia mengkhianati prinsip "menuntun", merusak perannya sebagai teladan, gagal membangun kehendak dari dalam, dan mengganti dorongan dengan serangan. Niat baik untuk mendisiplinkan menjadi tidak relevan ketika metodenya merusak jiwa dan karakter yang seharusnya ia bentuk.
Jika Ki Hajar Dewantara menawarkan kritik dari dalam tradisi kearifan Indonesia, Paulo Freire memberikan kritik radikal dari perspektif teori kritis global. Bagi Freire, pendidikan tidak pernah netral; ia bisa menjadi alat untuk penindasan (domestication) atau alat untuk pembebasan (liberation).
Freire mengkritik keras model pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai "pendidikan gaya bank" (banking concept of education). Dalam model ini, guru adalah subjek yang memiliki pengetahuan, sementara siswa adalah objek atau "celengan kosong" yang pasif menerima "deposit" pengetahuan. Relasi yang terbangun adalah relasi vertikal, hierarkis, dan menindas.
Tindakan menampar adalah manifestasi paling ekstrem dari pendidikan gaya bank. Kepala sekolah memposisikan dirinya sebagai subjek absolut yang memiliki kebenaran (aturan tidak boleh merokok) dan siswa sebagai objek yang harus "diisi" dengan kebenaran tersebut melalui cara apa pun, termasuk kekerasan. Siswa tidak dilihat sebagai manusia utuh dengan nalar, perasaan, dan konteksnya sendiri, melainkan sebagai wadah kosong yang bersalah dan harus dihukum. Tidak ada ruang untuk dialog, pemahaman, atau negosiasi makna.
Sebagai alternatif, Freire menawarkan "pendidikan hadap masalah" (problem-posing education). Dalam model ini, guru dan siswa adalah subjek yang setara, yang bersama-sama menganalisis realitas secara kritis. Masalah (dalam hal ini, "mengapa siswa merokok?") tidak dijawab dengan tamparan, tetapi dijadikan sebagai titik awal untuk sebuah dialog. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah: Mengapa kamu merokok? Apa yang kamu rasakan saat merokok? Apakah kamu tahu dampaknya? Mengapa aturan ini ada? Dialog semacam ini akan membawa siswa pada proses penemuan kesadaran, bukan penyerahan diri pada otoritas.
Tujuan akhir dari pendidikan Freirean adalah conscientização, sebuah proses di mana individu menjadi sadar secara kritis akan realitas sosial-politiknya dan mampu mentransformasikannya. Disiplin sejati, dalam pandangan Freire, lahir dari kesadaran kritis ini, bukan dari paksaan.
Tamparan adalah jalan pintas yang brutal dan anti-intelektual yang justru menghalangi terjadinya conscientização. Siswa yang ditampar tidak akan pernah sampai pada kesadaran kritis tentang bahaya merokok atau pentingnya aturan di sekolah. Yang ia pelajari adalah: "Jika aku merokok dan ketahuan oleh kepala sekolah, aku akan dipukul." Pelajarannya adalah tentang kekuasaan dan cara menghindarinya, bukan tentang kesehatan, tanggung jawab, atau etika. Budaya yang tercipta adalah budaya takut, bukan budaya sadar. Siswa akan menjadi lebih lihai bersembunyi, bukan lebih bertanggung jawab atas tindakannya.
Freire berpendapat bahwa kaum tertindas sering kali menginternalisasi logika kaum penindas. Dalam konteks ini, kepala sekolah, yang mungkin juga merupakan produk dari sistem pendidikan yang keras di masa lalu, tanpa sadar mereproduksi logika kekerasan yang pernah ia alami. Ia menjadi penindas bagi generasi berikutnya. Tindakannya, meskipun mungkin diniatkan untuk "kebaikan", secara objektif melanggengkan siklus kekerasan di lembaga yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak.
Dengan demikian, bagi Freire, argumen bahwa "niatnya baik" sama sekali tidak bisa diterima. Pendidikan harus dinilai dari praktiknya. Praktik kekerasan adalah praktik penindasan. Ia secara fundamental anti-dialog, anti-humanis, dan anti-pembebasan. Ia adalah pengkhianatan terbesar terhadap hakikat pendidikan itu sendiri.
Tan Malaka, melalui magnum opusnya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), memimpikan sebuah bangsa yang terbebas dari cara berpikir mistis, dogmatis, dan tidak logis. Pendidikan, baginya, adalah alat untuk mengasah akal sehat dan kemampuan berpikir rasional.
Bagi Tan Malaka, setiap tindakan harus bisa dipertanggungjawabkan secara logis. Mari kita uji tindakan kepala sekolah dengan pisau analisis logika :
• Premis: Siswa merokok di sekolah adalah sebuah pelanggaran yang harus dihentikan dan dicegah agar tidak terulang.
• Tindakan: Kepala sekolah menampar siswa.
• Pertanyaan Logis: Apakah tindakan menampar secara logis akan mencapai tujuan yang diinginkan (menghentikan kebiasaan merokok dan mencegahnya terulang)?
Jawabannya adalah tidak Secara logis, tamparan hanya akan menghentikan perilaku merokok di hadapan kepala sekolah tersebut. Ia tidak menyentuh akar masalahnya: adiksi nikotin, tekanan teman sebaya, masalah personal, atau kurangnya pemahaman akan risiko.
Hubungan kausalitas antara tamparan dan berhentinya kebiasaan merokok sangatlah lemah, jika tidak ada sama sekali. Bahkan, tamparan tersebut bisa memicu respons yang tidak logis dan kontra-produktif dari siswa, seperti pemberontakan yang lebih besar, agresi balik, atau depresi.
Tindakan kepala sekolah bukanlah tindakan yang didasari oleh logika, melainkan oleh emosi (kemarahan, frustrasi) dan impuls. Ini adalah jenis tindakan yang ingin diberantas oleh Tan Malaka melalui pendidikan. Pendidik seharusnya menjadi agen rasionalitas, yang mengajarkan siswa untuk menghubungkan sebab dan akibat secara logis, bukan menjadi contoh dari tindakan reaktif dan emosional.
Dari kerangka dialektika Tan Malaka, situasi ini mengandung sebuah kontradiksi (tesis dan antitesis). Tesisnya adalah aturan sekolah yang ideal (tanpa rokok).
Antitesisnya adalah realitas siswa yang merokok. Solusi dari kontradiksi ini bukanlah dengan menghancurkan antitesis secara fisik (menampar siswa), melainkan dengan mencari sintesis baru melalui proses dialog dan konsekuensi yang rasional.
Sintesisnya bisa berupa program anti-merokok yang lebih efektif, sesi konseling, pelibatan orang tua, atau sanksi edukatif (misalnya, membuat riset tentang bahaya rokok dan mempresentasikannya di depan kelas). Sintesis ini mengatasi kontradiksi dengan cara yang cerdas dan mendidik, mengangkat kedua belah pihak ke level pemahaman yang lebih tinggi. Tamparan adalah sebuah tindakan non-dialektis; ia hanya menegaskan kekuasaan tesis atas antitesis secara brutal, tanpa ada pembelajaran atau kemajuan.
Dengan demikian, Tan Malaka akan melihat tindakan kepala sekolah sebagai sebuah kegagalan nalar. Itu adalah sebuah "jalan pintas" yang mengabaikan analisis materialis terhadap penyebab masalah dan menolak proses dialektis-logis dalam mencari solusi. Itu adalah cerminan dari cara berpikir "mistis" yang percaya bahwa satu pukulan magis dapat mengubah perilaku kompleks manusia.
Analisis dari ketiga pemikir di atas membawa kita pada satu kesimpulan yang solid: tindakan menampar, terlepas dari niatnya, adalah sebuah metode yang keliru secara fundamental dan merusak secara pedagogis. Argumen "niat baik" dan "tamparan sayang" runtuh di hadapan prinsip "menuntun" Ki Hajar Dewantara, prinsip "dialog pembebasan" Paulo Freire, dan prinsip "logika rasional" Tan Malaka.
Lalu, bagaimana seharusnya? Jalan keluarnya bukanlah dengan membiarkan pelanggaran disiplin, melainkan dengan mengubah total paradigma kita tentang disiplin itu sendiri.
Sistem yang mendasari tamparan tersebut adalah disiplin punitif (menghukum). Fokusnya adalah pada kesalahan masa lalu, pelakunya, dan rasa sakit yang harus ditimbulkan sebagai balasannya. Tujuannya adalah kontrol dan kepatuhan melalui rasa takut.
Alternatifnya adalah disiplin positif. Ini adalah pendekatan yang melihat pelanggaran sebagai kesempatan untuk belajar. Fokusnya adalah pada solusi di masa depan, bukan kesalahan di masa lalu. Tujuannya adalah untuk mengajarkan keterampilan sosial dan emosional, serta membangun kesadaran diri. Dalam kasus merokok, pendekatan disiplin positif akan melibatkan :
1. Komunikasi yang Menghargai: Memulai dengan dialog empatik untuk memahami alasan di balik perilaku siswa, tanpa menghakimi.
2. Fokus pada Solusi: Bekerja bersama siswa untuk menemukan cara mengatasi masalahnya. "Apa yang bisa kita lakukan agar kamu bisa berhenti merokok di sekolah..?"
3. Konsekuensi yang Mendidik: Mengganti hukuman yang menyakitkan dengan konsekuensi yang relevan dan logis. Misalnya, meminta siswa membantu petugas kebersihan, membuat poster kampanye anti-rokok, atau mengikuti program konseling kecanduan.
4. Memberdayakan, Bukan Mengontrol: Tujuannya adalah agar siswa mampu mengontrol dirinya sendiri (self-control), bukan dikontrol oleh pihak eksternal.
Selangkah lebih jauh dari disiplin positif adalah pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Jika keadilan retributif (punitif) bertanya, "Aturan apa yang dilanggar, siapa pelakunya, dan apa hukumannya?", maka keadilan restoratif bertanya, "Siapa yang dirugikan oleh tindakan ini, apa kebutuhan mereka, dan bagaimana cara memperbaiki kerugian tersebut?"
Dalam kasus ini, yang dirugikan bukan hanya "aturan sekolah", tetapi juga komunitas sekolah (siswa lain dan guru yang terpapar asap), dan siswa itu sendiri (kesehatannya). Proses restoratif akan melibatkan mediasi antara siswa, kepala sekolah, dan mungkin perwakilan lain (guru BK, orang tua, teman). Tujuannya adalah agar siswa memahami dampak perbuatannya terhadap orang lain, merasa bertanggung jawab, dan secara sukarela mengambil tindakan untuk memperbaiki kerusakan yang telah ia timbulkan. Ini adalah perwujudan sejati dari conscientização Freire dan sistem among Ki Hajar Dewantara dalam praktik.
Jadi, apakah tindakan kepala sekolah menampar murid yang merokok itu salah? Jawabannya adalah iya, secara absolut dan dari berbagai sudut pandang. Secara hukum, itu adalah tindak salah. Secara etis, itu adalah pelanggaran profesional. Dan yang terpenting, secara pedagogis, itu adalah sebuah kegagalan total yang mengkhianati esensi pendidikan.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara, Paulo Freire, dan Tan Malaka secara kolektif memberikan fondasi yang kokoh untuk menolak segala bentuk kekerasan dalam pendidikan. Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita bahwa pendidikan adalah seni menuntun dengan kasih, bukan memaksa dengan amarah. Paulo Freire menyadarkan kita bahwa pendidikan harus membebaskan nalar melalui dialog, bukan membungkamnya dengan rasa takut. Dan Tan Malaka mengingatkan kita bahwa tindakan harus didasari oleh logika rasional, bukan impuls emosional.
Kompleksitas yang disebut dalam narasi awal—antara metode yang salah dan niat yang mungkin baik—pada akhirnya adalah sebuah dilema yang semu. Dalam dunia pendidikan, metode tidak bisa dipisahkan dari tujuan. Metode yang merusak tidak akan pernah bisa mencapai tujuan yang membangun. "Tamparan sayang" adalah sebuah ilusi berbahaya yang menutupi kegagalan kita sebagai pendidik untuk menemukan cara-cara yang lebih manusiawi, sabar, dan cerdas dalam menghadapi tantangan perilaku siswa.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi seluruh ekosistem pendidikan Indonesia untuk berefleksi. Ini bukan saatnya "menegakkan benang basah" dengan membela kekerasan atas nama nostalgia atau krisis moral. Ini adalah saatnya untuk secara sadar dan sistematis meninggalkan paradigma punitif dan merangkul pendekatan disiplin positif dan restoratif, sebuah jalan yang tidak hanya akan membuat sekolah menjadi tempat yang lebih aman, tetapi juga lebih efektif dalam membentuk manusia-manusia yang merdeka, sadar, dan berkarakter. (Hengki Refegon).