Refleksi Peringatan Hari Pendidikan Nasional, Partisipasi Semesta : Pendidikan Bermutu Dimulai dari Kepedulian Kolektif.
Oleh Hengki Refegon, S.PdI
Guru SD Negeri 07 Kubu Gulai Bancah Kota Bukittinggi.
OPINI, blknnews.com - Hari Pendidikan, Bukan Sekadar Seremoni saja. Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan ini semestinya tidak hanya menjadi rutinitas seremonial, melainkan momentum reflektif: sejauh mana kita memahami hakikat pendidikan..?
Tema Hari Pendidikan Nasional tahun 2025 ini, “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua,” melalui tema tersebut, menurut sudut pandang penulis, terdapat suatu penegasan bahwa pendidikan tidak bisa dibebankan hanya pada guru atau sekolah saja sebab, Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif bagi semua pihak, diantaranya, keluarga, masyarakat, dunia usaha, pemerintah, bahkan media dan tokoh agama harus ikut terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kemajuan dunia pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kalau sekolah hanya bisa menjadi ruang belajar bagi generasi bangsa, tapi semesta adalah ekosistem pendidikan yang sebenarnya.
Partisipasi semesta berarti membangun sinergi lintas peran. Orang tua aktif mendampingi anak, masyarakat menciptakan lingkungan yang ramah belajar, dunia usaha membuka ruang kolaborasi, dan negara menjamin keadilan akses pendidikan. Hanya dengan itulah, pendidikan yang bermutu dan inklusif dapat terwujud untuk seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali.
“Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, akan tetapi pembentukan manusia paripurna.”
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi ruang perenungan bagi pendidik, orang tua, dan seluruh elemen masyarakat. Gelaran peringatan tahun ini mesti menjadi pengingat bagi guru bahwa mendidik bukan hanya tugas profesional, melainkan panggilan jiwa yang suci demi tercapainya nawacita pendiri bangsa.
Mendidik bukan hanya soal kebijakan dan program, tetapi tentang komitmen batin untuk hadir dan peduli. Maka, tema ini sangat sejalan dengan refleksi Hari Pendidikan yang yang harus dilakukan oleh guru : mendidik dengan hati, dimulai dari panggilan jiwa.
“Semakin banyak hati yang peduli, semakin luas cahaya pendidikan menyinari masa depan anak-anak generasi penerus bangsa.”
Mendidik: Panggilan Jiwa, Bukan Sekadar Profesi
Sigmund Freud menyebut bahwa tindakan manusia didorong oleh motivasi bawah sadar. Ketika profesi guru dijalani tanpa panggilan hati, pekerjaan itu akan menjadi beban batin, penuh ketegangan, dan kehilangan makna.
Sebaliknya, teori Self-Determination dari Deci dan Ryan menjelaskan bahwa guru dengan motivasi intrinsik—mereka yang mengajar karena cinta—akan lebih kreatif, penuh empati, dan ulet. Mereka membangun ruang kelas bukan hanya dengan materi, tetapi dengan hati.
“Guru sejati adalah mereka yang membangkitkan semangat, bukan sekadar mengisi kepala.”
Carl Rogers menambahkan, dalam pendidikan humanistik, guru adalah fasilitator pertumbuhan, bukan pusat pengetahuan. Guru hadir untuk menyentuh hati, bukan sekadar menyampaikan data.
Pendidikan dengan Hati: Kunci Menumbuhkan Jiwa
Dalam pendekatan humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, pendidikan haruslah hangat, empatik, dan personal. Maslow mengajarkan, manusia hanya bisa belajar dengan baik bila kebutuhan dasarnya—rasa aman, dicintai, dan dihargai—terpenuhi.
Guru yang “hadir” secara penuh—tubuh, pikiran, dan jiwa—akan menciptakan iklim belajar yang bermakna. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi menumbuhkan karakter, nilai, dan semangat hidup.
“Pendidikan sejati bukan hanya mengisi pikiran, tapi menghidupkan hati.”
Pendidikan Islam: Mendidik sebagai Amanah Spiritual
Dalam Islam, pendidikan adalah amanah ilahiyah. Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud)
Mendidik dalam Islam bukan sekadar pekerjaan, melainkan pengabdian ruhani. Al-Ghazali menekankan pendidikan hati (tazkiyatun nafs), Ibnu Sina mendorong metode personal, dan Ibnu Khaldun menolak kekerasan dalam pendidikan.
Menemukan Kembali Panggilan Mendidik
Jika seorang guru merasa jenuh atau kehilangan semangat, mungkin saatnya untuk bertanya kembali:
“Apakah aku masih mendidik dengan hati? Ataukah sekadar mengajar dengan rutinitas?”
Mendidik dengan hati adalah satu-satunya jalan membangun peradaban. Pendidikan tidak akan pernah berhasil bila dijalankan oleh hati yang beku.
Kembali ke Akar Panggilan
Mari jadikan Hari Pendidikan sebagai momentum untuk kembali kepada panggilan awal: mendidik dengan hati, dengan keikhlasan, dan dengan penuh cinta. “Karena hanya hati yang hangat mampu menyalakan cahaya dalam jiwa-jiwa baru”.
Selamat Hari Pendidikan!
Semoga para guru selalu menjadi pelita dalam membentuk generasi masa depan yang penuh iman, akhlak, dan ilmu. (**).