-->
News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Refleksi Milad KAHMI ke-59: Dialektika Sejarah, Peran Alumni HMI dalam Kancah Politik Nasional.

Refleksi Milad KAHMI ke-59: Dialektika Sejarah, Peran Alumni HMI dalam Kancah Politik Nasional.



Oleh : Hengki Refegon
Alumni HMI Cabang Solok. 

SUMATERA BARAT, blknnews.com - Milad ke-59 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang diperingati setiap 17 September, bukan sekadar momentum seremonial tahunan saja, melainkan sebuah titik reflektif untuk membaca ulang dialektika sejarah, dinamika ruang, serta capaian gerakan Islam, intelektual, politik dan para alumninya.

Sejak lahir dari rahim sejarah HMI tahun 1966, KAHMI membawa mandat historis yang tidak bisa dipisahkan dari mission HMI itu sendiri :

“terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.”

Jika HMI adalah rahim kaderisasi, maka KAHMI adalah jejaring kekuatan pasca kampus yang meneguhkan relevansi kader HMI dalam gelanggang kebangsaan.

Sejarah mencatat, alumni HMI berperan aktif dalam berbagai fase bangsa, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Dialektika ini menunjukkan bahwa posisi KAHMI bukan sekadar perpanjangan tangan HMI, tetapi sebuah arena baru di mana ide-ide kader HMI diuji dalam realitas kuasa dan birokrasi.

Namun, dialektika historis itu menyimpan paradoks. Di satu sisi, banyak alumni HMI mengisi jabatan strategis mulai dari menteri, gubernur, walikota, Bupati, anggota legislatif, penyelenggara pemilu, ketua partai politik , akademisi serta pejabat pemerintahan bahkan sebagai pengusaha sukses. Di sisi lain, pertanyaan kritis muncul dalam tubuh internal maupun eksternal KAHMI itu sendiri, kalau diuraikan seperti inilah kira-kira pertanyaannya :

Apakah keberhasilan personal itu otomatis bermakna suksesnya KAHMI sebagai institusi..? Ataukah itu hanya “buah kebetulan” dari kerja keras individu yang kebetulan berlabel alumni HMI..?

Tentu pertanyaan tersebut butuh jawaban rasional, baik secara ilmu akademis maupun secara ilmu Agama, Politik dan lain sebagainya dalam menentukan sikap serta langkah strategis HMI dan KAHMI kedepan.

Terlihat secara fakta dan data, Pergerakan alumni HMI tidak hanya berhenti di pusat kekuasaan Jakarta. Ruang-ruang daerah menjadi laboratorium penting bagi aktualisasi alumni. Banyak kepala daerah, birokrat, hingga aktivis LSM di daerah yang membawa identitas HMI. Bahkan jejaring KAHMI telah menjangkau diaspora global—alumni yang bekerja di lembaga internasional atau menjadi akademisi di luar negeri.

Pergerakan ini penting dicatat karena memberi warna pada bagaimana mission HMI diterjemahkan secara kontekstual. Di pusat, alumni mungkin bicara soal kebijakan makroekonomi atau geopolitik. Di daerah, alumni lebih dekat pada isu tata kelola sumber daya, kemiskinan struktural, atau advokasi pendidikan.

Dalam kancah politik nasional dan daerah, alumni HMI hadir dalam spektrum yang sangat luas: dari partai Islam hingga partai nasionalis, dari lembaga legislatif hingga yudikatif. Fragmentasi politik alumni ini menunjukkan keluasan penetrasi, tetapi sekaligus memunculkan kritik: apakah idealisme perjuangan HMI masih terjaga, ataukah cair dalam pragmatisme kekuasaan?

Pertanyaan lain yang lebih dalam: apakah alumni HMI masih mengusung spirit insan cita atau justru ikut terjebak dalam status quo oligarki politik? Di sinilah refleksi kritis Milad ke-59 harus diarahkan.

Banyaknya alumni HMI yang menduduki jabatan strategis memang patut diapresiasi, tetapi itu tidak otomatis menjadi indikator kesuksesan KAHMI secara institusi. Keberhasilan personal tidak boleh menggantikan tolok ukur kelembagaan. Institusi disebut berhasil jika mampu mengonsolidasi kader, membangun sistem meritokrasi, serta menghadirkan kontribusi nyata bagi umat dan bangsa. Jika tidak, KAHMI hanya akan dikenal sebagai “peta alumni yang tersebar” tanpa arah institusional yang jelas.

Dengan demikian, Milad ke-59 harus menjadi titik balik: apakah KAHMI akan tetap hanya menjadi forum nostalgia dan jejaring sosial atau bertransformasi menjadi pusat pemikiran strategis yang mampu menjawab problem kebangsaan

Di usia yang mendekati enam dekade, KAHMI tidak bisa hanya berhenti pada seremonial tahunan dengan ucapan selamat dan doa. Milad harus menjadi momentum aksi. Ada beberapa agenda strategis menurut hemat penulis yang bisa dipikirkan dan mungkin oleh KAHMI Nasional sudah menjadi kajian diantaranya ;

1. Refleksi Ideologis – Mengembalikan ruh mission HMI sebagai basis gerak alumni dalam setiap level jabatan.

2. Konsolidasi Intelektual – Membangun pusat studi, think tank, atau forum intelektual KAHMI yang terlibat aktif dalam menyusun arah kebijakan bangsa.

3. Penguatan Daerah – Menegaskan peran alumni di daerah sebagai penggerak perubahan sosial, bukan hanya follower kebijakan pusat.

4. Kolaborasi Lintas Generasi – Menjembatani generasi senior dan junior agar tidak terjadi gap visi.

5. Jejaring Global – Memanfaatkan alumni di luar negeri sebagai duta intelektual dan diplomasi bangsa.

Refleksi Milad KAHMI ke-59 haruslah melampaui romantisme sejarah. Ia harus meneguhkan kembali dialektika historis alumni HMI, memperhatikan dinamika politik dari pusat ke daerah hingga global, serta menguji konsistensi idealisme dalam kancah politik nasional.

Keberhasilan KAHMI tidak cukup diukur dari banyaknya alumni yang berkuasa, tetapi dari seberapa besar institusi ini mampu menjaga ruh perjuangan HMI, mengartikulasikan gagasan Islam dan kebangsaan secara substantif, serta menghadirkan kontribusi nyata bagi peradaban. Milad ke-59 adalah ujian: apakah KAHMI tetap menjadi korps alumni yang sibuk dengan seremoni, ataukah ia menjelma menjadi kekuatan moral-intelektual bangsa. (Rd).

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.