Refleksi Kritis Lima Hari Sekolah: Menjaga Hak Anak, Menata Pendidikan
Oleh: Hengki Refegon
Guru SD Negeri 07 Kubu Gulai Bancah
Kota Bukittinggi
OPINION, blknnews.com - Peran pendidikan dalam mengisi sendi-sendi kehidupan demi mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Dasar Negara Pancasila.
Pendidikan sebagai Proses Pembebasan
Kritik terhadap kebijakan pendidikan yang terlalu menekankan aspek teknokratis juga pernah disuarakan oleh Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire menyatakan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan dari guru ke murid (banking education), melainkan proses pembebasan.
“Pendidikan sejatinya bukanlah memindahkan isi otak guru ke kepala murid, tetapi dialog yang membebaskan kesadaran,” tulis Freire.
Dalam konteks lima hari sekolah, pendekatan pembebasan ini mengingatkan bahwa sistem pendidikan—betapapun baik niatnya—harus tetap membuka ruang partisipasi aktif siswa. Anak bukan objek kebijakan, tetapi subjek yang memiliki hak suara dalam proses belajarnya.
Kembali ke Filosofi Ki Hajar Dewantara
Pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menjadi relevan dalam mengevaluasi kebijakan lima hari sekolah. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan adalah upaya untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka tumbuh secara optimal sebagai manusia dan anggota masyarakat.
Konsep Tri Pusat Pendidikan yang ia gagas—keluarga, sekolah, dan masyarakat—mengajarkan bahwa pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah. Maka, waktu libur dua hari dalam sistem lima hari sekolah sesungguhnya bisa menjadi sarana menghidupkan kembali peran keluarga dan aalingkungan dalam mendampingi pertumbuhan anak.
“Anak harus diperlakukan sesuai kodratnya. Pendidikan yang memaksa, menekan, atau menjauhkan anak dari dunianya sendiri adalah pendidikan yang gagal,” tulis Ki Hajar.
Pendidikan dalam Islam: Seimbang Dunia dan Akhirat
Konsep pendidikan dalam Islam juga menekankan keseimbangan antara tarbiyah aqliyah (pendidikan akal), tarbiyah ruhiyah (pendidikan spiritual), dan tarbiyah jasadiyah (pendidikan fisik). Pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk dunia kerja, tetapi juga untuk membentuk insan kamil, manusia paripurna yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah…” (HR. Bukhari-Muslim). Maka tugas pendidikan adalah menjaga fitrah itu dengan kasih sayang, bukan dengan tekanan atau beban.
Keseimbangan antara waktu belajar dan waktu istirahat, antara dunia sekolah dan kehidupan keluarga, merupakan bagian dari prinsip tawazun (keseimbangan) yang menjadi inti pendidikan Islam.
Dampak Pelaksanaan Lima Hari Sekolah
Kebijakan lima hari sekolah atau full day school telah dijalankan di berbagai satuan pendidikan di Indonesia sebagai bagian dari penguatan pendidikan karakter (PPK). Tujuannya tidak hanya sebatas memperpanjang waktu belajar, tetapi juga membentuk siswa secara utuh: intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.
Begitu juga di kota Bukittinggi, lebih khusus lagi di SD Negeri 07 Kubu Gulai Bancah, kebijakan ini diterapkan dengan pendekatan yang adaptif dan berorientasi pada kesejahteraan anak. Kepala Sekolah, Yurneli, S.Pd., menilai bahwa lima hari sekolah justru menjadi ruang untuk mempererat hubungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
“Dengan libur dua hari di akhir pekan, orang tua punya lebih banyak waktu berkualitas bersama anak. Ini penting untuk membentuk karakter anak, terutama di usia dini,” ujar Ibuk Yurneli.
Secara praktis, siswa lebih terlibat dalam kegiatan non-akademik seperti pramuka, seni, tahfidz, dan olahraga. Ruang waktu yang lebih panjang dari Senin hingga Jumat memberi peluang untuk pembelajaran yang lebih mendalam dan tidak terburu-buru.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhadjir Effendy, pernah menyampaikan bahwa:
“Full day school bukan semata soal menambah jam belajar, tetapi menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, produktif, dan sarat nilai karakter.”
Dampak positif juga dirasakan para guru. Pendekatan pembelajaran berdiferensiasi yang berpusat pada peserta didik dan sejalan dengan Kurikulum Merdeka/Nasional dapat diterapkan lebih leluasa. Salah seorang Guru kelas, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan:
“Kami jadi lebih mudah mengaitkan antar mata pelajaran, dan memberi tugas proyek yang bermakna bagi siswa.”
Aspek psikologis tak luput dari perhatian. Dua hari libur memungkinkan anak beristirahat dan bersosialisasi bersama keluarga. Psikolog pendidikan, Rose Mini Agoes Salim, mengingatkan bahwa:
“Waktu bersama keluarga di akhir pekan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosional anak.”
Dengan pengelolaan yang baik, lima hari sekolah bukan beban tambahan, tetapi peluang untuk menghadirkan pendidikan yang lebih manusiawi dan relevan dengan kebutuhan anak masa kini. Sekolah menjadi pusat pembelajaran, rumah menjadi pusat kasih sayang dan pembentukan nilai kehidupan.
Namun demikian, seperti kebijakan publik lainnya, sistem ini tidak tanpa risiko. Di beberapa wilayah, kekhawatiran muncul mengenai potensi kelelahan fisik dan mental siswa akibat jam belajar yang lebih panjang. Anak-anak di jenjang sekolah dasar, terutama kelas bawah, memiliki rentang konsentrasi yang terbatas. Jika kegiatan belajar tidak diselingi metode yang menyenangkan dan waktu istirahat yang cukup, kejenuhan tak terhindarkan.
Kekhawatiran lain adalah soal keterbatasan infrastruktur. Di daerah dengan akses transportasi yang belum memadai, siswa bisa kelelahan karena harus menempuh perjalanan jauh setiap hari. Ini berpotensi mengganggu kualitas istirahat dan kesehatan anak.
Selain itu, waktu belajar yang panjang berisiko mengurangi interaksi anak dengan keluarga di sore hari. Ketika anak pulang dalam kondisi lelah, komunikasi emosional dengan orang tua bisa menurun. Situasi ini bisa mengganggu ikatan batin yang penting untuk perkembangan anak.
Meski demikian, sejauh ini di SD Negeri 07 Kubu Gulai Bancah belum tampak dampak negatif yang signifikan. Sekolah menerapkan pengaturan jadwal yang fleksibel, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
“Kami terus memantau kondisi siswa, dan memastikan keseimbangan antara belajar dan istirahat tetap terjaga,” jelas Ibu Yurneli.
Ekstrakurikuler pun dirancang sebagai sarana relaksasi edukatif, bukan beban tambahan. Sekolah tidak berhenti pada pelaksanaan, tetapi terus membuka ruang evaluasi melalui dialog dengan siswa, orang tua, dan guru.
sekolah ramah anak adalah sekolah merdeka
Di sinilah pentingnya prinsip sekolah ramah anak sebagai kompas pelaksanaan kebijakan. Lima hari sekolah bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang seimbang: akademik kuat, karakter terbina, dan kebahagiaan anak tetap terjaga.
Lima hari sekolah bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan sistem pendidikan yang berimbang. Sekolah yang berhasil bukan yang paling panjang jam belajarnya, tetapi yang mampu menyeimbangkan tuntutan akademik dengan kebahagiaan dan kemanusiaan anak.
Dengan berpijak pada pemikiran Freire, Ki Hajar Dewantara, dan konsep pendidikan Islam, kita diingatkan bahwa pendidikan harus membebaskan, menuntun, dan menyayangi. Maka, kebijakan lima hari sekolah perlu terus dikawal agar tidak berubah menjadi rutinitas kaku, melainkan menjadi jalan menuju pendidikan yang manusiawi dan bermakna. (**).