Dari Muara Labuh Seribu Rumah Gadang ke Mimbar Bukittinggi: Dialektika Perjuangan Ustadz Dodi Oktarianto.
BUKITTINGGI, blknnews.com, - Nama Ustadz
Dodi Oktarianto, S.Pd., Gr., kini akrab di telinga warga Kota Bukittinggi dan Agam. Ia dikenal sebagai salah satu pendakwah muda yang sejuk dalam tutur, tenang dalam menyampaikan hikmah, serta konsisten menanamkan pesan moral dan spiritual di tengah masyarakat. Namun, di balik sosok yang hari ini berdiri gagah di mimbar dakwah dan di depan kelas sebagai pendidik, tersimpan riwayat perjuangan panjang yang ditempa oleh sejarah, ruang, serta dinamika sosial budaya yang mengitarinya.
Lahir dan tumbuh sebagai putra rantau dari Solok 38 tahun yang lalu, tepatnya Muara Labuh Solok Selatan. Ustadz Dodi sejak awal sudah menjadi bagian dari tradisi Minangkabau yang kental dengan nilai pendidikan agama Islam dan semangat dakwah. Tradisi intelektual Islam di Sumatera Barat—dengan surau, pesantren, dan jaringan ulama PERTI, Muhammadiyah, hingga NU—menjadi fondasi sejarah yang kemudian membentuk langkah-langkahnya dalam mencari ilmu dan mengabdi kepada umat.
Jejak Santri: Lasi sebagai Ruang Pembentukan Karakter
Setelah menamatkan pendidikan dasar, Ustadz Dodi memilih jalan yang tidak semua anak seusianya sanggup tempuh: ia berangkat merantau menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Ashhabul Yamin Lasi pada tahun 1999. Selama tujuh tahun (1999–2006), ia menghayati fase kehidupan yang penuh kedisiplinan: bangun sebelum fajar, berjuang menghafal Al-Quran, menegakkan shalat berjamaah, hingga mengasah kepemimpinan dan kemandirian.
Di pesantren, dialektika sejarah terjadi: ia tidak hanya menerima tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga belajar berinteraksi dengan realitas sosial di sekitarnya. Pendidikan formal dan spiritual menyatu, membentuk karakter yang teguh dan penuh komitmen.
Sesudahnya, perjalanan intelektualnya berlanjut ke STAIN ( UIN) Bukittinggi, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2006–2011. Di sinilah ia memasuki ruang dialektika baru: perguruan tinggi, dengan atmosfer akademik yang menuntut kemampuan berpikir kritis, sistematis, dan ilmiah.
Namun perjuangan mahasiswa bernama Dodi kala itu bukan hanya soal kuliah. Ia juga menjadi garin Masjid Nurul Haq Kampung Cino selama masa kuliah—sebuah tugas mulia yang mempertemukannya dengan realitas kehidupan masyarakat urban dan plural. Masjid bukan hanya tempat ibadah baginya, tetapi ruang pengabdian, pembinaan, dan latihan kepemimpinan spiritual.
Mengajar sebagai Jalan Pengabdian
Tahun 2011 menjadi titik awal pengabdiannya secara formal dalam dunia pendidikan. Ia dipercaya menjadi Kepala MDA/MDTA Al Manzhary Panorama Bukittinggi. Selama lebih dari satu dekade (2011–2023), ia tidak hanya mengajar, tetapi membangun fondasi, sistem, dan kultur pendidikan berbasis nilai-nilai Islam dan karakter mulia pada siswa.
Menghimpun dukungan masyarakat, membina guru-guru muda, serta memastikan generasi Qur’ani tumbuh di tengah derasnya arus modernitas—itulah medan perjuangannya. Di situlah dialektika antara tantangan zaman dan nilai keislaman terus diuji, dan Ustadz Dodi hadir sebagai jembatan yang menyeimbangkannya.
Saat ini ia juga mengabdi sebagai Guru Pendidikan Agama Islam di SD Negeri 08 Cimpago Ipuah Kota Bukittinggi, memperluas ruang pengabdian dari madrasah ke sekolah umum. Perannya semakin strategis: menanamkan nilai keislaman pada generasi muda sejak dini, memastikan moralitas tumbuh beriring dengan kecerdasan zaman.
Dakwah: Dari Surau ke Mimbar Publik
Bukittinggi dan Agam dikenal sebagai tempat lahir para pendiri negara ini, dan juga panggung besar bagi tradisi dakwah Nusantara. Dalam lanskap yang penuh tokoh dan ulama, menempatkan diri bukan perkara mudah. Namun Ustadz Dodi mampu menorehkan nama sebagai salah satu mubalig kondang yang dicintai jamaah.
Bukan suara yang lantang atau gaya retorika berapi-api yang menjadi modal utamanya. Melainkan ketenangan, kelembutan, kedalaman ilmu, serta keteguhan prinsip yang menjadikannya dipercaya. Dakwahnya memberi kesejukan sekaligus ketegasan dalam prinsip—perpaduan karakter yang lahir dari pendidikan pesantren, perguruan tinggi, dan pengalaman sosial kemasyarakatan.
Selain itu, amanah yang ia emban sebagai salah seorang pengurus PERTI Bukittinggi meneguhkan posisinya dalam melanjutkan warisan perjuangan ulama terdahulu. Ia bukan hanya penceramah, tetapi penjaga nilai dan tradisi keilmuan.
Pernikahan dan Titian Kehidupan Keluarga
Pada tahun 2013, ia menikah dengan Eva Yani, juga seorang pendidik dan Guru PAI di SD Negeri 03 Pulai Anak Aie Kota Bukittinggi. Perjumpaan dua insan pembawa ilmu dan dakwah ini melahirkan keluarga yang bukan hanya menjadi ruang sakral penuh cinta, tetapi juga poros dakwah dan pendidikan.
Doa keluarga, spirit kebersamaan, dan dukungan pasangan menjadi energi tak ternilai dalam menempuh jalan dakwah yang panjang dan melelahkan. Dalam keluarga ini, dakwah bukan hanya disampaikan di mimbar; ia dihidupi setiap hari, menjadi teladan bagi anak-anak dan lingkungan.
Dialektika Seorang Pejuang Ilmu
Setiap pencapaian yang tampak hari ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan hasil dari perjalanan dialektis: antara harapan dan kenyataan, antara tradisi dan modernitas, antara idealisme dan realita sosial.
Perjuangan Ustadz Dodi adalah perpaduan air mata, kerja keras, dan keteguhan niat, diiringi doa orang tua, keluarga, sahabat, dan jamaah yang selalu mendukungnya.
Kini, dalam fase lanjut pengabdiannya, ia juga aktif di berbagai organisasi keagamaan dan ormas lainnya selain dari PERTI. Langkah ini menegaskan bahwa baginya pengabdian dan dakwah adalah perjalanan tiada akhir.
Menatap Masa Depan Dakwah
Di saat sebagian orang berlari mencari panggung politik dan kekuasaan, Ustadz Dodi justru menghadirkan dirinya sebagai pelayan umat. Di tengah tantangan zaman—era digital, budaya instan, dan derasnya arus nilai global—ia memperlihatkan bahwa kunci kekuatan dakwah terletak pada ketulusan, keikhlasan, dan keteladanan.
Perjalanan panjangnya menyiratkan pesan bahwa kesuksesan bukan hadiah, melainkan buah dari kedisiplinan, kerendahan hati, dan keyakinan penuh bahwa Allah menuntun setiap langkah hamba-Nya yang teguh dan ikhlas.
Dari Muara Labuh hingga mimbar-mimbar masjid Bukittinggi, dari bilik pesantren Lasi hingga ruang kelas sekolah, dari tugas sebagai garin hingga menjadi penceramah kondang—perjalanan ini bukan sekadar kisah pribadi. Ini adalah fragmen sejarah kecil yang menyatu dalam mozaik besar tradisi keislaman Minangkabau.
Penutup
Dalam dialektika sejarah hidupnya, Ustadz Dodi Oktarianto menghadirkan pelajaran berharga: bahwa kemuliaan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari tempaan panjang; bahwa dakwah bukan panggung, melainkan pengabdian; dan bahwa ilmu adalah cahaya yang harus dijaga, dihidupi, dan dibagi.
Maka, kisah ini bukan sekadar biografi, melainkan inspirasi. Dari seorang pemuda Muara Labuh lahirlah pendakwah Bukittinggi yang menegakkan marwah keilmuan, tradisi, dan akhlak mulia—melanjutkan mata rantai dakwah ulama Minangkabau dalam ruang sejarah yang terus bergerak. (Hengki Refegon).

