Krisis Politik dan Krisis Demokrasi sebagai Akar Krisis Ekologis di Sumatera Barat.
Penulis: Jafri Rajo Kacik, S. Ag.
OPINI, blknnews.com, - Krisis ekologis di Sumatera Barat—banjir bandang, longsor, degradasi hutan, dan rusaknya daerah aliran sungai, sering dipersempit sebagai “Bencana Alam”. Padahal itu merupakan salah satu produk politik dari masa ke masa.
Di balik kerusakan alam berdiri krisis yang lebih mendasar yakni, krisis politik dan krisis demokrasi. Alam rusak bukan karena hujan semata, tetapi karena keputusan kekuasaan yang menyingkirkan etika, adat, dan partisipasi rakyat.
Disini penulis akan mencoba memberikan suatu pemikiran yang layak untuk dijadikan bahan renungan bagi semua elemen masyarakat tentang krisis politik dan krisis demokrasi di negeri ini.
1. Politik Ekstraktif: Kekuasaan yang Menghisap Alam
Dalam banyak kebijakan daerah, alam diperlakukan sebagai komoditas, bukan amanah. Izin tambang, pembukaan hutan, dan proyek infrastruktur dipaksakan tanpa kajian ekologis yang jujur dan partisipatif.
Politik lokal tersandera kepentingan investor dan oligarki; fungsi perlindungan dikalahkan oleh target pertumbuhan semu. Ketika kekuasaan berpihak kepada pemodal, hutan kehilangan pembela, sungai kehilangan sempadan, dan kampung kehilangan perlindungannya.
2. Demokrasi Prosedural, Bukan Substantif
Demokrasi di Sumbar sering berhenti pada bilik suara. Setelah pemilu, suara rakyat—terutama masyarakat adat dan nagari—terpinggirkan.
Musyawarah diganti dokumen formal, persetujuan publik direduksi menjadi sosialisasi sepihak. Inilah demokrasi prosedural: sah secara administratif, buta secara moral. Akibatnya, kebijakan ekologis lahir tanpa kontrol warga, tanpa transparansi, dan tanpa akuntabilitas.
3. Pelemahan Adat dan Matinya Kearifan Lokal
Minangkabau memiliki fondasi kuat, tertuang dalam Filosofi (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Dalam kerangka ini, alam adalah titipan untuk generasi. Namun politik modern justru meminggirkan lembaga adat, mengabaikan nagari sebagai subjek, dan menormalisasi perusakan atas nama izin.
Ketika adat dilemahkan, rem sosial-ekologis ikut runtuh dengan sendirinya, akibatnya, alam tidak lagi mempunyai keseimbangan dan binatang minim tempat berlindung.
4. Aparat dan Birokrasi: Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Penegakan hukum lingkungan sering selektif. Rakyat kecil cepat disalahkan, sementara pelaku perusakan berskala besar berlindung di balik legalitas.
Ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan krisis keberanian politik. Negara hadir untuk mengatur, bukan melindungi—dan itu berbahaya bagi ekologi dan masa depan generasi bangsa.
5. Ekologi sebagai Cermin Etika Kekuasaan
Kerusakan alam adalah indikator kualitas demokrasi. Ketika banjir berulang, itu tanda kebijakan gagal.
Ketika longsor menelan korban, itu tanda kepemimpinan abai. Ekologi berbicara jujur tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
Lanskap Krisis Ekologis di Sumatera Barat dan Jalan Keluar untuk Reformasi Politik-Ekologis:
1. Demokratisasi kebijakan lingkungan: wajibkan persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) bagi masyarakat adat/nagari.
2. Audit politik perizinan: buka data izin, konflik kepentingan, dan dampak ekologis secara publik.
3. Penguatan adat dan nagari sebagai subjek pengelola ruang hidup.
4. Penegakan hukum tanpa tebang pilih terhadap perusak ekosistem.
5. Paradigma amanah: alam bukan objek eksploitasi, melainkan titipan yang harus dipertanggungjawabkan.
Sebagai penutup dari penulis, bahwa Krisis ekologis Sumatera Barat bukan takdir, melainkan hasil pilihan politik. Selama demokrasi dikooptasi dan kekuasaan kehilangan etika, alam akan terus menjadi korban. Menyelamatkan lingkungan berarti memulihkan politik—mengembalikannya kepada rakyat, adat, dan tanggung jawab moral.
